Ibu Rumah Tangga: SUPERWOMAN Atau PENGANGGURAN?
“Karier sebagai ibu rumah tangga menuntut pendidikan yang sama atau malah lebih dibanding karier apa pun di luar rumah, karena meliputi tugas merawat manusia. Dan, pekerjaan ini tak pernah ada teorinya di dunia.”
(Ismail Raji Al Faruqi, dalam It Implications for Though and Life )
IMBAS globalisasi dengan kecenderungan orientasi pada hal-hal lahiriah cukup mengguncang status ibu rumah tangga saat ini. “Kalau sudah besar nanti, aku tak mau cuma jadi ibu rumah tangga,” kata salah seorang peserta starsearch, Idola Cilik, yang masih murid SD, dalam sebuah wawancara di televisi. Kata “cuma” dalam kalimat tadi memperlihatkan betapa posisi ibu rumah tangga di matanya amat miskin daya tarik.
Sementara itu, bukan rahasia — setidaknya berdasarkan polling di situs www.careerjournal.com — kini pria cenderung memilih wanita yang bekerja di luar rumah ketimbang istri yang hanya diam di rumah, mengurusi anak, memasak, mencuci, dan sebagainya. Bagaimana tidak, sepintas, secara finansial, istri bekerja memang tampak lebih mandiri dan tidak merepotkan pria. Bahkan, wanita bekerja sudah mengambil alih sebagian tanggung jawab pria.
Selebihnya, dalam keseharian, baik dalam hal birokrasi, administrasi, maupun sosialisasi, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sering dianggap sebagai “hal amat biasa”. Bahkan muncul kesan, status ibu rumah tangga mendekati pengangguran. Kadang-kadang, perlakuan dari sesama wanita pun begitu, seolah-olah wanita bekerja memiliki derajat lebih tinggi. Tapi, benarkah ibu rumah tangga itu pekerjaan “biasa” yang mendekati pengangguran?
Aktivitas Produktif
Penganggur selalu berkonotasi negatif. Mereka termasuk kategori yang secara fisik tak mempunyai pekerjaan dan tidak berpenghasilan. Selebihnya, kalau pekerja diartikan sebagai orang yang meninggalkan rumah untuk mencari penghasilan, mungkin benar, ibu rumah tangga memang pengangguran. Tapi, kalau mau menggunakan teori ini, bagaimana dengan pekerja sektor informal, yang kadang-kadang melakukan tugasnya di rumah sendiri?
Harian Kompas pernah mengungkapkan, 73% dari 8,89 juta perempuan yang sudah berkeluarga sama sekali tidak bekerja atau tak mempunyai penghasilan sendiri. Hanya 26,28% atau 2, 33 juta orang yang bekerja, entah itu sebagai pegawai negeri sipil, (PNS) maupun pegawai swasta atau wiraswasta.
Bagi ibu rumah tangga, pengungkapan data seperti itu tentu sangat menganggu. Soalnya, dari sana bisa ditarik kesimpulan bahwa pekerjaan ibu rumah tangga itu cuma makan tidur, tak punya aktivitas produktif.
Pilihan Sulit
Memang, bagi banyak wanita, jadi ibu rumah tangga semata merupakan pilihan karier yang sulit. Tak semua wanita tahan berjuang di lahan ini. Kondisinya semakin parah dengan definisi umum yang menganggap wanita bekerja adalah haum hawa pencari uang di luar rumah.
Bahkan, pengendali pemerintahan pun mengakui definisi ini. Terbukti dengan adanya program Prakarsa Kursus Penganggur Perempuan (bagian dari jaring Pengaman Sosial) yang diprioritaskan bagi ibu rumah tangga. Program ini secara tidak langsung menyebut “penganggur” bagi para ibu yang tidak bekerja di kantoran.
Padahal, kalau kita mau menghitung rupiah yang seharusnya bisa diraup para ibu dari pekerjaan rumah tangga, mungkin gaji kaum ibu bisa menyaingi penghasilan manajer tingkat menengah.
Coba saja hitung. Antar jemput anak sekolah, belanja menggunakan kendaraan sendiri = biaya sopir 600.000, mengasuh anak-anak di rumah = biaya baby sitter 600.000, memasak, menyiapkan makanan, mencuci, menyetrika = biaya pembantu 300.000, merawat bunga-bunga di taman=biaya tukang kebun 150.000. Belum lagi tugas-tugas ekstra di malam hari, terutama jika memiliki bayi. Hanya kaum ibu yang sadar akan kewajibannya yang bersedia bekerja 24 jam sehari. Dan, kalau bisa melakukan itu semua, apalagi sambil aktif di lingkungan sosial, maka kaum ibu sudah mewujud jadi superwoman, wanita super.
Tak terpungkiri, posisi ibu rumah tangga sekarang terbentuk oleh nilai-nilai masyarakat yang sudah tertanam begitu lama dan sulit diubah. Kalau pun bisa, prosesnya akan sangat panjang.
Itu sebabnya, jangankan seorang wanita yang 100% mengurus rumah tangga, mereka yang diam-diam menyambi dan memiliki penghasilan lebih besar dari suami pun masih dianggap penganggur. Padahal, senyatanya, para ibu bekerja untuk sebuah kantor kecil berupa rumah tangganya sendiri.
Struktur Organisasi
Sebagai “kantor kecil”, rumah tangga memiliki struktur organisasi. Setiap anggota keluarga punya posisi, peran, dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Ayah, misalnya, dibaratkan sebagai komisaris perusahaan, Ibu sebagai manajer operasional, dan anak-anak adalah pegawai-pegawai kecil yang bisa diatur.
Orang sering luput menyadari bahwa tugas sebagai ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang sangat sulit. Secara demikian, mengutip pendapat Ismail Raji Al Faruqi pada awal tulisan ini, sepatutnya ibu rumah tangga bangga atas karier terselubungnya, karena ia berhasil menjalaninya tanpa mengacu pada textbook, bahkan di bangku kuliah pun tak ada pelajarannya.
Memang, tidak mudah menjalani peran sebagai manajer operasional, lantaran harus siap berhadapan dengan nilai-nilai “negatif” yang melekat pada ibu rumah tangga. Ujung-ujungnya, tak heran jika di antara para wanita sendiri sering timbul kegamangan saat harus berkonsentrasi jadi ibu rumah tangga saja. Tak jarang juga, seorang perempuan yang memutuskan berhenti bekerja mengalami fakta menyesakkan, lantaran keluarga besarnya memandang aneh keputusan tersebut.
Formalitas Penghormatan
Pandangan negatif pada status ibu rumah tangga memang sulit dibendung. Alhasil, memang jadi amat wajar jika kemudian Hari Ibu menjelma jadi (sekadar) formalitas penghormatan dalam sehari. Pasalnya, pada hari-hari dan tanggal lain selain 22 Desember, anggapan umum masih (tetap) memosisikan ibu rumah tangga sebagai sesuatu yang tidak istimewa, lantaran semua perempuan bisa saja jadi ibu rumah tangga, tanpa harus mencapainya dengan susah payah. ***
Oleh Elsya Tri Ahaddini
or
Follow Us On